Filsafat masa Aufklarung

07/05/2014 02:55

Dalam sejarah filsafat modern, terdapat masa Aufklärung yang dipelopori oleh filsuf dari Negeri Ratu Elisabeth, Inggris.  Masa Aufklärung menaungi abad 18. Masa ini bagai menjungkirbalikan masa sebelumnya, abad 17; dimana manusia menyekat dirinya dari usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan duniawi dan  rohani, yaitu kenyataan yang mengenai manusia, dunia, dan Allah. Tokoh-tokoh filsafat di abad 17 didominasi oleh tokoh-tokoh dari kalangan gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan, Yesus, Alkitab, dan sebagainya. 

 

Aufklärung berarti “pencerahan” hal ini melukiskan dimana manusia mencari lentera baru dalam menerangi rasionya. Menurut Immanuel Kant: “Dengan Aufklärung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak akil balig, yang dengannya ia sendiri tidak bersalah.”1

 

Dikatakan jaman pencerahan karena manusia mulai mengunakan rasio/akal budinya untuk mencari kebenaran dari sebelumnya yang seringkali dianggap hanya menerima takhayul, ajaran agama atau Wahyu Allah. Masa pencerahan ini sangat mempengaruhi praktik keilmuan, politik, dan gereja di Eropa, selanjutnya disanksikan sampai saat ini bersama arus globalisasi mempengaruhi hampir semua tempat ada kehidupan manusia.

 

Manusia dikatakan bersalah karena ia tidak menggunakan apa yang terdapat pada dirinya sendiri, yaitu rasionya. Oleh sebab itu, semboyan dari Aufklärung ialah: “Sapare aude!” atau “Hendaklah anda berani berpikir sendiri!” dengan demikian masa Aufklärung merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia,―khususnya bagian dunia barat―sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi.

 

Keyakinan akan rasio pada abad 18 sangat didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan―fisika klasik Isaac Newton―pada masa itu. Sejak saat itu ilmu pengetahuan berkembang pesat, hampir setiap tahun dimunculkan penemuan ilmiah baru. Pada saat itu, muncul pula upaya untuk mengerahkan segala pengetahuan dengan cara sistematis. Itu berarti lahir ensiklopedi. Dengan demikian, seluruh orde ini menaruh optimisme besar terhadap manusia, kemampuannya dan masa depannya.

 

Optimisme secara berlebihan terhadap kemampuan manusia, bukan berarti jaman ini dikatakan tidak beragama. Tetapi jelas bahwa terdapat kecenderungan untuk melepaskan diri dari pengaruh Wahyu Ilahi dan Gereja. Antikristianisme dan antiklerikalisme dalam jaman Pencerahan tampak jelas di Francis―Ordo Yesuit, Notre Dame―ketika Tuhan dai agama Kristen secara resmi diganti dengan Rasio sebagai pujaan baru.

 

Gerakan Aufklärung berkembang mulus di Inggris,―kebijakan politik mengizinkan pemikiran bebas―karena sejak tahun 1693, undang-undang menjamin kebebasan mencetak. Lalu, pergerakan ini terbang ke Francis, di sana prinsip-prinsip Aufklärung dikembangkan secara radikal sekali. Dengan cara tidak langsung, masa Pencerahan merintis jalan bagi revolusi Francis tahun 1789. Selanjutnya ‘wabah’ Aufklärung bertiup ke Jerman, namun gerakannya berlangsung lebih tenang.

 

Beberapa tokoh filsafat masa Aufklärung

 

Dari Inggris

 

  1. John Toland mengarang buku Christianity not mysterious (1696).
  2. Matthews Tindal menerbitkan buku Christianity as old as creation (1730).  
  3. William Wollaston menulis buku The religions of nature delineated (1722). 
  4. Thomas Chubb mengarang buku The true Gospel of Jesus Christ (1739). 
  5. David Hume dalam bukunya Natural history of religion (1755) dan karyanya yang diterbitkan secara anumerta Dialogues concerning natural religion.

 

Di Inggris, terdapat satu istilah menarik ialah “deisme” dimaksudkan bahwa pendirian pemikir-pemikir yang menerima adanya Allah dan mengakui-Nya sebagai Pencipta, tetapi mereka beranggapan bahwa sesudah penciptaan Ia tidak menghiraukan penyelenggaraan dunia. Mereka memandang ajaran Kristen bersifat kodrati dan indoktin merupakan suatu agama rasional sama seperti semua agama lain dan tidak membawa sesuatu pun perubahan yang baru.1

 

Gagasan mereka ialah: “Akal mempunyai otonomi mutlak dalam kajian agama, juga agama Kristen―yang berjaya mengendalikan pemikiran manusia saat itu―ditaklukan kepada akal. Atas dasar gagasan inilah mereka menentang segala keyakinan yang berdasarkan wahyu.

 

David Hume mengancung tangan lebih tinggi daripada “the Deists” dalam mengecam agama Kristen. Dalam karangannya di atas, ia menyangkal kemungkinan untuk mendasarkan adanya Allah secara rasional, karena prinsip kausalitas tidak dapat dibenarkan. Hume berpendapat bahwa agama lahir dari “hoes and fears” manusia. Bentuk agama manusia asali ialah politeisme yang berangsur-angsur berkembang menjadi monoteisme.1

 

Dari Francis

 

Hadirnya Aufklärung di Francis dapat dikatakan sebagai hadiah balasan dari Inggris―Newton, Locke, dan “the Diests”―yang sebelumnya menerima dari Francis filsafat Descartes dan pengikut-pengikutnya. Di Francis, gerakan Aufklärung lebih radikal daripada di Inggris dan negeri lainnya.

 

Di Perancis keyakinan baru ini sejak semula diberikan dalam bentuk populer. Akibatnya filsafat di Perancis dapat ditangkap oleh golongan yang lebih luas, bahkan kaum yang tidak begitu terpelajar. Hal ini menjadikan keyakinan baru itu memasuki pandaangan umum. Karena sifatnya yang populer―dihubungkan juga dengan praktik politik―maka filsafat di Perancis pada waktu itu tidak begitu mendalam. Agama Kristen  diserang habis-habisan dengan memakai senjata yang diberikan oleh “the deisme.”

 

Kebanyakan mereka berpandangan bahwa Agama hanya sebatas kepada beberapa perin­tah kesusilaan, maka dengan itu mereka menolak segala dogm agama sebagai sesuatu yang mampu membawa manusia kepada suatu yang baru.

 

1. Pierre Bayle (1647-1706)

Pelopor masa Aufklärung di Francis. Ia adalah seorang pemikir yang sangat kritis. Bayle menulis buku yang sangat terkenal Dictionnaire historique et critique (1695).

2. Para Ensiklopedis

Eksiklopedi merupakan alat utama untuk mensosialisasikan pikiran-pikiran Aufklärung. Tim redaksi terdiri dari Denis Diderot, Jean, D’Alembert, dan sarjana terkemukaka―Voltaire*, d’Holbach, Helvėtius, Montesquieu*, Rousseau*, Turgot, Grimm. Tulisan-tulisan mereka dalam ensiklopedi memiliki nilai yang berbeda-beda, tetapi dapat terlihat suatu tendensi umum yang menentang gereja dan sistem politik pada waktu itu.

 

Voltaire (1694-1778) mengakui kemampuan rasio manusia untuk membuktikan adanya Allah, tetapi ia berpendapat bahwa Allah tidak mempedulikan dunia. Dunia diibaratkan sebuah arloji yang dibikin oleh seorang tukang, tetapi sesudah dibikin berjalan sendiri.1

 

Montesquieu (1689-1755) berpendapat pula bahwa bentuk negara yang paling baik ialah monarki konstitusional. Ia berpendapat demikian karena dengan itu akan terjamin kebebasan sebesar mungkin. Itu diakibatkan kerana dalam monarki konstitusional secara konsekuen dipisahkan tiga kuasa: legislative, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian atas tiga kuasa ini disebut “trias politica.” Bukunya De I’esprit des lois (1748) sangat mempengaruhi revolusi Francis dan perkembangan tata negara parlemen yang modern.1

 

Rousseau (1712-1778) dianggap sebagai filsuf yang terbesar pada jaman itu. Ia tidak menganut optimisme terhadap rasio yang terdapat pada begitu banyak pengikuti Aufklärung. Oleh sebab itu, semboyan Rousseau menjadi: “Retournons à la nature” atau “Marilah kita kembali kepada keadaan asali.”

 

Pandangan-pandangan Rousseau dalam bidang politik dan sosial terdapat dalam bukunya  Contrat social (1762).  Dalam bentuk negara yang ideal, keadaan asali sedapat mungkin harus dipertahankan; khususnya kebebasan dan persamaan yang dinikmati manusia dalam keadaannya itu.

 

Setiap warga negara harus taat pada konstitusi dan undang-undang yang mengandung ‘kehendak umum’ yang (walau) tidak selalu sama dengan kehendak semua orang. Rousseau sangan membela kedaulatan rakyat. Menurutnya, dalam bentuk negara yang paling baik tidak ada perwakilan rakyat. Namun dari perbandingan yang ia sajikan, dalam sebuah negara yang besar, misalnya Indonesia, sangat sulit untuk meniadakan lembaga perwakilan rakyat.

 

Pandangan Rousseau mengenai pendidikan berhubungan erat dengan ajarannya tentang negara dan masyarakat. Ia berpandangan, pendidikan ber­tugas untuk membebaskan anak dari pengaruh kebudayaan dan untuk memberi kesempatan kepada anak mengembangkan kebaikannya sen­diri yang alamiah. Segala sesuatu yang dapat merugikan perkembangan anak yang alamiah harus dijauhkan dari anak. Di dalam pendidikan tidak boleh ada pe­ngertian “kekuasaan” yang memberi perintah dan yang harus ditaati. Anak harus diserahkan kepada dirinya sendiri. Hanya dengan cara demi­kian ada jaminan bagi pembentukan yang diinginkan. Juga pendidikan agama yang secara positif tidak boleh diadakan. Anak harus memilih Sen­diri

 

Dari Jerman

 

Frederik Agung atau Frederik II (1712-1786) merupakan orang yang sangat mengagumi dan memajukan pemikiran Aufklärung di Jerman. Ia selalu membela pemikiran bebas, sehingga banyak pemikir Francis dan Jerman mendapat perlindungan di kerajaannya.

 

Gotthold Ephraim Lessing (172-1781) seorang penyair terkemukaka dalam kesastraan Jerman, tetapi ia juga punya sumbangsih dalam bidang filsafat.  Ia sangat menjunjung martabat manusia dan mementingkan toleransi dalam bidang agama.

 

____________

Bertens, K. (1998). Ringkasan sejarah filsafat. Yogyakarta. Kanisius