Selenggarakan Pendidikan Resolusi Konflik

07/04/2014 23:28

Masyarakat Indonesia secara demografis maupun sosiologis merupakan wujud dari bangsa yang majemuk. Ciri yang menandai sifat kemajemukan ini adalah adanya keragaman budaya yang terlihat dari  bahasa, budaya, dan keyakinan serta kebiasaan-kebiasaan kultural lainnya. The founding father memandang bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan tersebut justru merupakan potensi yang dapat memperkuat integrasi sebagai suatu bangsa.

 

Masyarakat Indonesia yang majemuk juga potensial terjadi konflik, karena masyarakat terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas-identitasnya masing-masing. Masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural (cultural identification), yaitu masing-masing orang mempertimbangkan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Secara tidak sadar masyarakat suatu suku bangsa, agama atau kelompok akan mengembangkan ikatan-ikatan yang bersifat primordial, yaitu loyalitas berlebihan yang mengutamakan atau menonjolkan kepentingan suatu kelompok agama, ras, daerah, atau keluarga tertentu. Identifikasi inilah yang menentukan individu-individu yang termasuk dalam ingroup dan outgroup.  Deutsch, Coleman & Marcus (2006: 628) mengatakan:

 

“As we are socialized, we learn to honor and respect the values and procedures fundamental to our own common culture. Children learn that the values and procedures of their culture are natural and normal. They are “common sense.” The social actualities of language, ethnicity, customs and traditions, religion, race, and region evoke existential feelings or emotions called primordial sentiments during each individual’s enculturation. They are the basis for social connections called “primordial bonds” that possess a powerful emotional force. Children develop a cultural identity grounded in these primordial bonds.”

 

Dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, pluralitas budaya ini seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik suku bangsa, agama, ras dan antargolongan (SARA). Wiriaatmadja (2002: 218) mengemukakan bahwa:

 

“Salah satu sejarah hitam konflik antaretnik di Indonesia yang menjadi masalah dalam konteks nasional dan integrasi bangsa adalah kerusuhan yang terjadi di Sampit dan Palangkaraya yang melibatkan etnis Dayak dengan Madura. Konflik di Sampit yang kemudian meluas ke daerah lain di Kalimantan Tengah, merupakan rangkaian konflik yang runtut dimulai dari kejadian di Aceh, Papua, Maluku, Halmahera, Poso, dan Sampang.”

 

Lebih lanjut dari pada itu Maftuh (2008: 5) mengatakan bahwa:

 

“Konflik-konflik sosial yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini cenderung bersifat destruktif dan menyebabkan kesengsaraan bagi banyak orang. Hal ini karena konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah tidak dapat dipecahkan oleh mekanisme yang ada, seperti melalui musyawarah, atau oleh pihak-pihak yang berkonflik sendiri maupun oleh bantuan pihak ketiga (mediator atau arbiter.”

 

Hal ini menjadikan proses penanganan konflik membutuhkan waktu yang lama dengan kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa. Pada sisi yang lain, kebutuhan untuk mencegah konflik semakin urgen, dan pencegahan konflik sangat mungkin dapat dilakukan. Namun, persoalan yang sering dihadapi dalam pencegahan konflik yang kemudian berakibat munculnya berbagai bentuk kekerasan ialah, dibiarkannya konflik itu terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang bersifat kultural, edukatif, dan pedagogis. Akibat dari situasi ini, pemerintah seperti tidak memiliki cukup kemampuan untuk memberikan perlindungan kepada warganya, sedangkan masyarakat sendiri telah kehilangan kekuatan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Karenanya, patut diduga potensi munculnya konflik dengan berbasis kekerasan di masa mendatang masih cukup tinggi.

 

Belajar dari pengalaman konflik yang terjadi di Indonesia dan terus berulang meskipun berbagai upaya telah dilakukan, kita perlu merujuk pada pandangan teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990). Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat, maka untuk melakukan pembenahan kondisi socio-cultural masyarakat dapat melalui pendidikan.

 

Pendidikan merupakan wahana yang efektif untuk membentuk generasi yang lebih toleran terhadap berbagai kemajemukan serta dapat meminimalisasi potensi konflik yang terjadi. Pendidikan sekolah dipandang strategis sebagai agen peubah masyarakat dalam menumbuhkembangkan budaya positif tertentu maupun politis kenegaraan. Wiriaatmadja (2002: 220) mengemukakan bahwa:

 

“Pendidikan dalam konteks penambahan ilmu, pengetahuan, gagasan, wawasan, serta epistemologinya akan dapat mengarahkan pemahaman terhadap berbagai problema sosial, seperti yang ditampilkan oleh eskalasi kebutuhan-kebutuhan, kekuatan-kekuatan, dan gerakan-gerakan yang merupakan fenomena sosio-ekonomis dan kultural bangsa akhir-akhir ini, termasuk fenomena konflik yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.”

 

Senada dengan itu, Atmadja (2010) mengatakan:

 

“Pendidikan sebagai suatu proses konstruksi, pada dasarnya mengarah pada usaha menjadikan manusia agar menjadi makhluk dewasa. Tujuan utama dari pendidikan adalah mewariskan kepada generasi yang baru, semua pengalaman peradaban yang dikembangkan oleh generasi-generasi terdahulu. Hal ini merupakan suatu keharusan, mengingat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga homo socius atau manusia sebagai makhluk sosial”.

 

Dengan demikian, siswa adalah agen sosial harapan bangsa untuk memecahkan masalah bangsa di masa sekarang dan masa mendatang.

Berdasar realita berbagai konflik yang terjadi dan kedudukan pendidikan yang strategis, maka kompetensi dalam resolusi konflik konstruktif perlu dikembangkan pada siswa melalui berbagai jalur dan program. Cara-cara mencegah dan menyelesaikan konflik sehingga tidak berakhir secara distruktif dapat dilakukan dengan membekali individu dengan keterampilan mengelolah konflik. Pada dasarnya, resolusi konflik secara umum melibatkan tiga cara penyelesaian konflik (Maftuh, 2008: 48), yaitu penyelesaian konflik oleh pihak-pihak yang berkonflik sendiri (negosiasi), penyelesaian konflik dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediasi), dan penyelesaian konflik melalui keputusan pihak ketiga (arbitrasi). Strategi-strategi ini adalah strategi yang bersifat tanpa kekerasan (non-violent strategis).

 

Dalam konteks faktual di lapangan, sekolah sebagai subsistem sosial tidak bebas dari konflik yang terjadi antarwarganya, khususnya konflik yang dialami siswa, namun pemahaman siswa tentang konflik masih sangat rendah, siswa memahami konflik hanya secara parsial tanpa mengetahui esensi apa dan bagaimana konflik tersebut. Di sekolah, Maftuh (2004: 355) dalam disertasinya mengatakan, “pembahasan tentang konflik dan resolusi konflik dilakukan secara tidak sistematis, dan hanya sebatas penjelasan konsep atau pengetahuan tentang konflik.” Hal ini menyebabkan siswa kurang memahami hakekat tentang konflik itu sendiri. Bagaimana mereka menemukan, menganalisis permasalahan dan penyebab, melakukan investigasi, sampai pada menemukan solusi atas berbagai konflik tersebut.

 

Sehubungan dengan konflik yang pernah dan akan terjadi pada setiap individu, ternyata tidak semua individu memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap menyelesaikan konflik secara positif. Selama ini kecenderungan seseorang menggunakan beberapa cara tertentu untuk memecahkan konflik seperti; menyerah begitu saja dengan segala kerendahan hati, melarikan diri dari persoalan yang mengakibatkan konflik, membalas musuh dengan kekuatan dan kekerasan yang jauh lebih dahsyat, menuntut melalui jalur hukum, dan sebagainya. Ternyata cara-cara tersebut sering tidak efektif dan selalu ada yang menjadi korban.

 

Kecenderungan generasi muda sekarang ini adalah semakin banyaknya generasi muda yang terlibat dalam kekerasan, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Selain itu, berbagai konflik terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mensikapi perubahan ini, kompetensi siswa dalam rolusi konflik sangat penting sebagai upaya preventif bagi siswa sebagai generasi muda yang sangat rentan terhadap konflik. Lickona (2013: 3) mengatakan, “mengembangkan karakter anak-anak di dalam dunia yang semakin rumit dan terus berubah bukanlah tugas yang sederhana. Namun, ini adalah waktunya untuk menghadapi tantangan tersebut”. Para siswa mesti dididik untuk memecahkan masalah termasuk ketika mereka menghadapi konflik di antara mereka sendiri. Oleh karenanya, Maftuh (2004: 21) mengemukakan “jika para siswa tidak terlatih dan kurang kemampuan untuk memecahkan masalah atau konflik secara konstruktif, maka mereka cenderung memecahkannya secara destruktif.”

 

Selama ini siswa dibatasi dari konflik dalam dinamika perkembangan masyarakat. Dalam konteks pendidikan, konflik-konflik dalam masyarakat dianggap belum pantas untuk dipelajari, dikarenakan berbagai faktor kerawananan dan sensitivitas konflik. Fakta menunjukkan bahwa konflik berbasis kekerasan di sekolah bisa menjadi bencana kemanusiaan yang cenderung berkembang dan meluas baik dari segi isu maupun para pelakunya.

 

Dalam dunia pendidikan, kekerasan di sekolah maupun perkelahian pelajar merupakan fenomena ekstrim yang sering terjadi. Namun, upaya meningkatkan keterampilan resolusi konflik kepada siswa saat ini cenderung bersifat parsial. Hal demikian berdampak pada kompetensi siswa atau warga negara tidak mencapai tujuan dan harapan bangsa. Dengan kata lain, hal yang dipahami siswa mengenai resolusi konflik sebatas pada knowledge, tidak mencapai pada menjadi skill dan membentuk disposition siswa, karena model, strategi, pendekatan, dan metode pengajaran yang dilakukan oleh guru terbatas pada bentuk konvensional yang ragu-ragu mencerminkan realitas. Komalasari (2010: 1) mengatakan bahwa “rendahnya mutu keluaran atau hasil pembelajaran ditandai dengan ketidakmampuan sebagian besar siswa menghubungkan apa yang telah mereka pelajari dengan pemanfaatan pengetahuan tersebut pada saat ini dan di kemudian hari dalam kehidupan siswa.”

 

Pada dasarnya guru kurang mampu menyajikan pembelajaran tentang resolusi konflik yang didasarkan atas konflik nyata yang terjadi dalam masyarakat dengan persepsi agar siswa tidak terkontaminasi dengan berbagai konflik yang terjadi di dalam sekolah, atau pun masyarakat. Selain itu strategi, pendekatan, metode yang digunakan guru kurang mampu mengembangkan kompetensi siswa dalam resolusi konflik. Hal ini berdampak pada sedikit keberhasilan dan kritik secara luas. Sumardianta (2013: 250) mengatakan bahwa:

 

“Guru belum melihat begitu sentral dan pentingnya mengajar tentang resolusi konflik di sekolah, serta bangkitnya minat terhadapnya dewasa ini, adalah terbukti bahwa Indonesia secara historis memiliki dasar penelitian sangat terbatas di bidang ini. Dalam kerangka pendidikan sosial siswa hanya disuguhi fakta yang diulang-ulang yang ditempatkan dalam kerangka ideologi yang juga bersifat tautologis, sama sekali tidak ada konfrontasi dengan kehidupan nyata yang dialami siswa setiap hari.”

 

Karena itu perlu pembelajaran berbasis masalah kontekstual untuk mendorong aktivitas siswa kepada upaya memahami konflik, mengidentifikasi konflik, dan menyelesaikan konflik oleh siswa secara kooperatif dan komprehensif.

 

Tindak kekerasan merupakan hal yang sangat tidak inginkan semua pihak, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dn edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua sekolah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak. Guru biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru belum menyadari bahwa hal ini sebetulnya berdampak buruk pada psikis anak dan dapat menjadi pemicu sikap anarkis anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan  Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Anak.

 

Urgensi program peningkatan kompetensi siswa dalam resolusi konflik melalui pendidikan di sekolah tersebut sejalan dengan beberapa pendapat ahli dalam pernyataannya berikut ini. Dalam pembahasan peran konselor di abad ke-21, dinyatakan bahwa tema-tema konseling masa depan yang urgen diantaranya adalah “konseling resolusi konflik”. Johnson and Johnsons (Erford, 2004: 363), setelah lebih dari 30 tahun melakukan penelitian menyatakan, “Most students do not know how to manage their conflict constructively”. Demikian halnya dengan The Centers for Disease Control and Prevention menyatakan bahwa kekerasan telah mencapai proporsi sebagai epidemic, oleh karena itu semua siswa perlu dilibatkan dalam program-program resolusi konflik. Bahkan The American School Counselor Association (ASCA) telah mendeklarasikan bahwa, a comprehensive conflict Resolution Program promotes safe school environment that permits optimal personal growth and learning“ (Erford, 2004).

 

Dalam beberapa tahun terakhir, sistem pendidikan di seluruh dunia juga telah telah mengembangkan kerangka kerja dengan peningkatan penekanan pada pengembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk sukses di abad ke-21. Mereka melibatkan aspek keterampilan dan pemahaman, tapi banyak dari mereka menekankan kecenderungan, seperti rasa ingin tahu, kreativitas, dan kolaborasi. Sebuah laporan yang disiapkan untuk Asia Society Global Cities Education Network Symposium, yang diselenggarakan di Hong Kong pada Mei 2012, tentang definisi keterampilan abad ke-21 dan mengapa dan bagaimana siswa harus diajarkan, yang ditulis oleh Saavedra & Opfer (2012: 6) mengatakan:

 

“They need to be able to solve problems so they can propose or review policies to address social challenges. They need to be able to work with others if they are to effectively serve as jurors or participate in political campaigns. They need to be able to communicate effectively orally and in writing so that they can share their opinions publicly, defend their rights, propose new policy.”

 

Selanjutnya, Civic Education Policy Study (CEPS) sebuah proyek penelitian jaringan internasional dilakukan pada akhir tahun 1990, dirancang untuk menguji perubahan karakter kewarganegaraan di atas dua puluh lima tahun ke depan dan implikasi berikutnya dari perubahan ini untuk kebijakan pendidikan di sembilan masyarakat peserta: Jepang, Thailand, UK, Germany, Greece, Hungary, the Netherlands, Canada, dan USA (Karsten, et al., 2002: 169; Budimansyah & Suryadi, 2008: 39). Tim yang diketuai John J. Cogan menunjukkan bahwa warga negara harus terbuka untuk bekerja dan berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai pengaturan, harus mampu berpikir secara lokal, nasional, dan global, dan mampu bekerja dengan orang yang beragam. Rekomendasi utama dari CEPS adalah bahwa kebijakan pendidikan, dalam segala aspeknya, harus didasarkan pada visi kewarganegaraan multidimensi. Studi ini menemukan bahwa tantangan awal abad ke-21, membutuhkan visi yang lebih komprehensif kewarganegaraan yang bersifat multidimensi. Multidimensional kewarganegaraan dimaksudkan untuk menggambarkan konseptualisasi multifaset kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan yang akan diperlukan warga untuk mengatasi tantangan dekade pertama abad ke-21.

 

Relevansi kompetensi siswa dalam resolusi konflik untuk meningkatkan keterampilan pribadi sosialnya dapat diidentifikasi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Indonesia. Dalam pasal 3 dinyatakan fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Demikian halnya tujuan pendidikan nasional salah satu diantaranya adalah, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Selanjutnya pengembangan Kurikulum 2006 (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 dengan dilandasi pemikiran tantangan masa depan yaitu tantangan abad ke-21 yang ditandai dengan abad ilmu pengetahuan, knowlwdge-based society dan kompetensi masa depan.