Masa Kecil

08/08/2014 22:36

“Ayah, walau kau tak punya banyak waktu denganku pada setiap hari, ceritakanlah segala tentang dirimu, segala yang kau tahu, dan segala yang berhak aku ketahui, karena aku adalah anakmu dan aku ingin mengenalmu.”

 

Saat aku kecil, aku dan ayahku di suatu tempat―mirip kebanyakan kita yang lahir pada tahun 1980-an, kita yang dulu tumbuh di kampung, di rumah keluarga yang tanpa aliran listrik, di dalam rumah berdinding dan beratap papan, pada malam hari yang gelap…

…masih segar dalam ingatanku. Kami baring di atas tikar rumput, cahaya pelita remang-remang menyelimuti langit-langit kamar yang mungkin hampir merupakan tempat paling mustahil di dunia untuk sebuah kenangan yang terus menghantui hidupku.

Di kamar,―yang tak mungkin aku datangi lagi―ayah menanamkan beragam cerita ke dalam telingaku saat aku baring di sampingnya. Dapat kurasakan kehangatan pada kakiku yang bertengger di tututnya, dan tangan mungilku yang mendekap lehernya.

Cerita-cerita ayah muncul dari buku pelajaran sekolah; Kancil yang berhasil mengelabui Buaya saat menyeberangi danau, Kura-kura yang berhasil mengalahkan Kelinci dalam perlombaan lari, Budi yang rajin membantu ibu di rumah. Dan cerita-cerita yang mengalir dari Alkitab; Adam si manusia pertama di Taman Eden, Nuh dan Bahteranya mengarungi lautan terluas di Bumi, Daud dan Goliat dalam pertarungan tunggal, Simson yang kuat karena rambutnya gondrong, Daniel yang rajin berdoa dan pintar, dan Yesus yang baik: mengampuni dan menyelamatkan manusia.

Ayahku senang berbagi, aku memiliki banyak kenangan bersamanya, aku sadar betul bahwa semua itu bukan mimpi, karena aku dapat berpegang pada kenangan itu bahwa ia benar-benar adalah ayahku. Aku harus berterima kasih kepadanya, karena telah memberi pengetahuan apapun yang harus kuketahui tentang ibu, kakek, nenek, dan dirinya, serta apapun yang harus kuketahui, termasuk etnisku.

Aku masih ingat cerita terakhir disenandungkannya dulu saat kami baring di kamar, cerita tentang seorang pemuda yang berkelana mengejar mimpinya dalam waktu yang sangat lama, hingga akhirnya menjadi seorang pemuda kaya raya dan menikah dengan putri kerajaan. Pulang kembali ke tanah kelahirannya,―bersama istrinya―pemuda tersebut mendapati ibunya telah tua rentah, karena ia malu, ia pura-pura lupa pada ibunya, bahkan menendang ibunya, dan tidak mau mengakui siapa perempuan tua tersebut di depan istri cantiknya. Ia anak yang durhaka. Belakangan setelah membaca buku pelajaran di sekolah baru kuketahui bahwa yang dimaksud ayahku ialah si Maling Kundang.

Aku percaya cerita itu sebagai kisah yang nyata dalam ingatanku. Ayah menghentikan cerita tatkala menanya, “Junior, besok kau sekolah?”

“Iya, ayah.”

“Pejamkanlah matamu.”

Ayah tak akan berhenti berbicara sebelum aku tertidur. Sedang dia komat-kamit mengisi telingaku dengan kata-kata, aku perlahan tenggelam dalam gelap malam.

Pagi hari setelah mandi di sungai, aku mengenakan seragam merah putih dan berdasi merah siap untuk berangkat ke sekolah. Rambut kusisir ke samping berkilau oleh minyak rambut. Tas warna merah bergambar Power Ranger  aku tempelkan ke punggung dan sepatu warna hitam bertali  kukenakan untuk melindungi kaki saat aku berlari-lari menelusuri jalan setapak dipagari rerumputan kecil setinggi lututku.

Di depanku, di situ, sepasukan merah putih melambaikan tangan sambil memekik sangat nyaring, “Juunnniiiiooorrrrr…!” berulang-ulang, “Juuunnnniiiioooorrrrr...!”, suara mereka itu terus bermunculan “Jun jun jun nii nii nii yor yor yor…”. Aku dapat melihat tubuh mereka menegang dan mulut mereka melebar, “JUNNNNIIIIIOOOORRRR…….!” kemudian suara menghilang perlahan. Aku segera membentuk barisan bersama mereka. Lupa topik apa yang kami perbincangkan, kami bak politisi yang selalu punya topik asik diperbincangkan sambil melangkah menuju sekolah.

Sepanjang jalan menuju sekolah, rekaman cerita-cerita Ayah sebelum tidur itu seakan keluar menjadi nyata. Cerita-cerita itu mengandung harapan terbesarnya padaku, untuk menjadi anak yang baik memiliki hati dan karakter. Tapi, awalanya ternyata aku tidak begitu.

Cerpen

Ketika Ayah Menyebelkan

08/08/2014 23:07
Saat-saat bersama merupakan hal yang kadangkala menjengkelkan. Seperti aku saat berada bersama...

Saat Kami Berkorban

08/08/2014 22:56
“Bangunlah, Nak. Matahari sudah meninggi,” kata ibu. Biasanya, setiap pagi Ibu berkata seperti itu...

Cita-Cita Ayah

08/08/2014 22:46
Saat aku kelas dua sekolah dasar, aku usia delapan tahun. Pada suatu pagi hari libur, aku dan ayah...

Masa Kecil

08/08/2014 22:36
“Ayah, walau kau tak punya banyak waktu denganku pada setiap hari, ceritakanlah segala tentang...
Items: 1 - 4 of 4